Data Sensus Penduduk 2020, yang dirilis oleh Badan Pusat Statistik pada akhir Januari, menggambarkan perubahan demografi yang signifikan di Indonesia dibandingkan dengan sensus sebelumnya pada tahun 2010. Seperti yang telah diprediksi oleh berbagai pihak, Indonesia saat ini sedang mengalami Bonus Demografi. Menariknya, hasil sensus tahun 2020 menunjukkan bahwa sebagian besar penduduk Indonesia berasal dari Generasi Z atau Gen Z (27,94%), yaitu generasi yang lahir antara tahun 1997 hingga 2012. Jumlah Generasi Milenial, yang sering dianggap sebagai pendorong perubahan sosial saat ini, hampir setara dengan Gen Z, yaitu sekitar 25,87% dari total penduduk Indonesia. Hal ini menandakan bahwa Gen Z memiliki peran penting dan berpengaruh dalam perkembangan Indonesia saat ini dan di masa depan.
Siapakah yang dimaksud dengan Generasi Z?
Dalam berbagai analisis, para pakar menyatakan bahwa Generasi Z memiliki sifat dan ciri yang sangat berbeda dari generasi sebelumnya. Mereka sering disebut sebagai generasi tanpa batasan (boundary-less generation). Sebagai contoh, dalam artikelnya yang berjudul "Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation," Ryan Jenkins (2017) mengungkapkan bahwa Generasi Z memiliki harapan, preferensi, dan pandangan tentang pekerjaan yang berbeda dan dianggap menantang bagi organisasi. Karakteristik Generasi Z sangat beragam, bersifat global, dan memiliki pengaruh signifikan pada budaya dan sikap masyarakat secara umum. Salah satu hal yang mencolok, Generasi Z sangat terampil dalam memanfaatkan perkembangan teknologi dalam semua aspek kehidupan mereka. Mereka menggunakan teknologi dengan alami, sebagaimana mereka bernafas.
Dalam artikel berjudul "Meet Generation Z: The Second Generation within The Giant Millennial Cohort" yang didasarkan pada penelitian longitudinal dari tahun 2003 hingga 2013, Bruce Tulgan dan RainmakerThinking, Inc. mengidentifikasi lima ciri utama Generasi Z yang membedakannya dari generasi sebelumnya. Pertama, media sosial merupakan cerminan masa depan bagi generasi ini. Generasi Z tumbuh dalam lingkungan di mana mereka tidak pernah benar-benar terpisah dari kehadiran orang lain. Media sosial membuatnya mungkin bagi siapa pun untuk berbicara dengan siapa pun, di mana pun, dan kapan pun. Media sosial menjembatani kesenjangan sosial, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi. Ini terkait dengan ciri kedua, yaitu bahwa keterhubungan dengan orang lain adalah hal yang paling penting bagi Generasi Z. Ketiga, kemungkinan terjadinya kesenjangan keterampilan di antara generasi ini. Hal ini mengharuskan upaya untuk mentransfer keterampilan dari generasi sebelumnya seperti keterampilan komunikasi interpersonal, budaya kerja, keterampilan teknis, dan kemampuan berpikir kritis. Keempat, kemampuan Generasi Z untuk menjelajah dan terhubung dengan banyak orang secara virtual melalui internet menyebabkan pengalaman fisik mereka menjadi terbatas. Namun, kemampuan mereka untuk terhubung dengan orang dari berbagai belahan dunia membuat mereka memiliki pola pikir global (global mindset). Terakhir, Generasi Z sangat terbuka terhadap berbagai pandangan dan pola pikir, yang membuat mereka lebih menerima keragaman dan perbedaan pandangan. Namun, efek sampingnya adalah bahwa mereka sering kali sulit mendefinisikan identitas mereka sendiri, yang dapat berubah-ubah tergantung pada berbagai faktor yang memengaruhi cara mereka berpikir dan bersikap terhadap hal-hal tertentu.
Generasi Z dan Era Digitalisasi
Kedekatan Generasi Z dengan teknologi tidak selalu memberikan keuntungan. Dalam konteks dunia kerja, hasil penelitian oleh O'Connor, Becker, dan Fewster (2018) dalam studi yang berjudul "Tolerance of Ambiguity at Work Predicts Leadership, Job Performance, and Creativity" mengungkapkan bahwa pekerja yang lebih muda cenderung memiliki kemampuan yang lebih rendah dalam menghadapi situasi yang ambigu di lingkungan kerja dibandingkan dengan rekan-rekan yang lebih tua. Generasi lebih muda sering kali menginginkan hal-hal yang baru dan menantang, terutama dalam konteks pekerjaan. Namun, mereka mungkin belum memiliki keterampilan dan rasa percaya diri yang cukup untuk mengelola ketidakpastian yang sering muncul, sehingga mereka dapat merasa lebih cemas. Hal ini menciptakan kontradiksi terhadap asumsi bahwa mereka, sebagai penduduk asli dunia digital (digital native), akan memiliki keterampilan adaptasi dan inovasi yang lebih baik dalam menghadapi situasi-situasi yang tidak pasti. Argumentasi yang mendasari penelitian ini cukup beralasan, mengingat bahwa Generasi Z tumbuh dalam lingkungan yang sering kali terlalu protektif, di tengah perubahan dan ketidakpastian yang konstan, seperti resesi ekonomi, transformasi digital, krisis global, bencana alam, dan pandemi. Hal ini dapat menyebabkan Generasi Z, ketika mencapai dewasa, kurang mampu mengatasi situasi ambigu karena pengalaman masa kecil yang cenderung dilindungi. Temuan dari penelitian American Psychological Association yang dikutip dalam laporan "Media Literacy for Digital Natives: Perspectives of Generation Z in Jakarta" (2018) juga mengkonfirmasi hasil tersebut. Kemampuan mereka dalam mengelola stres dan menjalani gaya hidup sehat semakin menurun di setiap generasi. Jika tren ini berlanjut, Generasi Z dapat menjadi generasi yang paling stres dalam sejarah. Hal ini juga berhubungan dengan sifat Generasi Z yang kurang memiliki batasan dalam berinteraksi dengan individu lain, sehingga mereka mungkin lebih rentan terhadap fluktuasi emosi karena terpapar informasi dan situasi yang berubah dengan cepat dan tidak terduga.
Bagaimana Harusnya Transformasi Pendidikan Terjadi?
Dalam banyak analisis, David Stillman dan Jonah Stillman (2017) memberikan gambaran yang komprehensif tentang karakter Generasi Z. Dalam bukunya yang berjudul "Gen Z @ Work: How The Next Generation is Transforming the Workplace," mereka mengidentifikasi tujuh karakteristik utama Generasi Z, yaitu: figital, fear of missing out (FOMO), hiperkustomisasi, terpacu, realistis, Weconomist, dan do it yourself (DIY).
Dalam konteks pendidikan, memahami karakteristik setiap generasi menjadi kunci untuk menentukan strategi pendidikan yang efektif bagi siswa. Tujuannya bukan hanya untuk mencapai prestasi akademik dan pendidikan yang baik, tetapi juga untuk membentuk karakter dan meningkatkan minat siswa dalam proses belajar. Saat ini, sebagian besar Generasi Z masih bersekolah. Oleh karena itu, perlu penyesuaian dalam sistem pendidikan agar sesuai dengan karakteristik mereka sambil tetap memperhatikan minat dan kebiasaan mereka sebagai generasi.
Karakteristik figital, yang mencerminkan bahwa Generasi Z adalah "penduduk asli digital," harus menjadi pertimbangan utama dalam pendidikan. Guru perlu memahami bagaimana siswa menggabungkan dunia fisik dan digital dalam kehidupan mereka, termasuk cara mereka berinteraksi dan belajar. Penutupan sekolah selama pandemi COVID-19 telah memaksa guru untuk lebih terampil dalam menggunakan teknologi dalam pembelajaran. Guru harus terbiasa menggunakan berbagai alat digital dalam pembelajaran mereka agar siswa tetap terlibat dan terhubung dalam pembelajaran di berbagai kondisi.
Karakteristik FOMO (Fear of Missing Out) juga merupakan tantangan dalam pendidikan. Generasi Z memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan ingin mengikuti perkembangan terbaru. Mereka cenderung mencari informasi dari berbagai sumber, terutama melalui media sosial. Dalam konteks pendidikan, ini menunjukkan perlunya kurasi informasi yang baik untuk membantu siswa memilah informasi yang relevan. Guru perlu membantu siswa mengembangkan keterampilan pemilahan informasi yang akurat dan relevan.
Dalam semua hal ini, peran guru menjadi sangat penting. Mereka perlu beradaptasi dengan perubahan teknologi dan memahami karakteristik Generasi Z agar dapat memberikan pendidikan yang sesuai dengan kebutuhan mereka.
Kebebasan Berbicara dan Adaptasi pada Kebutuhan Belajar Gen Z
Generasi Z lahir dengan kemampuan untuk memahami diri mereka sendiri. Oleh karena itu, karakteristik hiperkustomisasi menjadi ciri khas mereka. Mereka terbiasa menentukan kebutuhan mereka sendiri dan mencari cara untuk memenuhi keinginan tersebut. Dalam konteks pendidikan, penting untuk memberikan siswa kebebasan untuk menentukan bagaimana mereka ingin belajar. Guru harus mampu menyesuaikan metode pembelajaran untuk setiap siswa dan memberi mereka kesempatan untuk mencari sumber belajar di luar lingkungan sekolah. Karakter hiperkustomisasi juga membuat siswa Gen Z menjadi kritis terhadap berbagai hal di sekitarnya, termasuk media pembelajaran yang digunakan. Oleh karena itu, lingkungan pendidikan harus memungkinkan siswa untuk memberikan masukan dan pendapat mereka tentang proses pembelajaran.
Karakter FOMO (Fear of Missing Out) juga memengaruhi pendidikan. Siswa Generasi Z memiliki rasa ingin tahu yang tinggi dan ingin selalu mengikuti perkembangan terbaru. Mereka mencari informasi dari berbagai sumber, terutama melalui media sosial. Oleh karena itu, pendidikan harus memberikan akses kepada siswa untuk mengakses informasi yang relevan. Guru perlu membantu siswa dalam mengembangkan keterampilan pemilahan informasi yang akurat dan relevan.
Generasi Z juga memiliki karakteristik sebagai " Weconomist," yang berarti mereka suka berkolaborasi dan terhubung dengan sesama. Dalam pembelajaran, ini dapat diwujudkan melalui pendekatan pembelajaran berbasis kelompok yang mendorong kolaborasi siswa dalam menyelesaikan tugas-tugas. Siswa perlu didorong untuk berbagi ide dan gagasan dengan sesama mereka. Kegiatan eksplorasi individu juga perlu ditingkatkan untuk membangun kreativitas siswa. Guru harus menjadi fasilitator dalam proses pembelajaran.
Namun, proses belajar juga harus mandiri, demokratis, dan mendorong penciptaan serta penemuan baru. Guru perlu menciptakan lingkungan yang memungkinkan siswa untuk mengatur diri sendiri. Siswa juga perlu dilatih untuk memiliki pandangan yang realistis tentang kehidupan dan masa depan mereka. Guru harus memberikan informasi tentang peluang, tantangan, dan hambatan yang mungkin dihadapi siswa dalam mencapai tujuan mereka. Dengan cara ini, pendidikan dapat memberikan panduan rasional tentang langkah-langkah yang perlu diambil oleh Generasi Z dalam kehidupan mereka, baik saat ini maupun di masa depan.
Jika Anda merasa terinspirasi atau tertarik oleh topik ini, jangan ragu untuk menjelajahi artikel-artikel menarik lainnya di website. Kami memiliki beragam konten yang mungkin akan menarik minat Anda. Terima kasih atas kunjungan Anda, dan kami berharap dapat berbagi lebih banyak pengetahuan dan inspirasi dengan Anda di artikel-artikel kami yang lain. Sampai jumpa Sobat Karir!